Selasa, 28 Oktober 2008

Pendidikan Estetik


Istilah aesthetic, dipopulerkan oleh Baumgarten pada pertengahan abad ke-18 untuk menyatakan sesuatu yang berkaitan dengan keindahan. Hingga sekarang ini, makna tersebut masih bertahan. Sesuatu yang estetik bermakna sesuatu yang indah. Karena seni secara tradisional dihubungkan dengan keindahan, maka seni pun berkaitan erat dengan istilah estetik. Ringkasnya seni bersifat estetik.

Tetapi, istilah estetik memiliki makna lain yang secara gampang dipahami jika kita menelusuri kata yang merupakan lawannya yakni anaesthetic (ingat istilah kedokteran, anestesia). Anaesthetic berfungsi menghilangkan rasa. Dengan demikian, sebaliknya hal atau peristiwa yang estetik berfungsi menimbulkan rasa. Jadi, cakupan maknanya menjadi meluas karena tidak hanya berkaitan dengan rasa keindahan saja tetapi segala perasaan. Jika kita mengamati hasil karya seniman kreatif dewasa ini, tidak sulit untuk menemukan karya yang menurut pandangan yang lazim tak lagi indah. Atas dasar itulah, filosof Suzanne Langer memandang seni sebagai media untuk mengungkapkan perasaan. Perasaan yang diungkapkan tidaklah harus identik dengan keindahan meskipun keindahan itu dapat dihayati sebagai perasaan yang bersifat khusus.

Perbedaan makna estetik di atas bukanlah sekedar perbedaan filosofis, tetapi lebih jauh perbedaan tersebut memiliki dampak praktis. Jika istilah estetik atau pendidikan estetik hanya dibatasi pada hal yang bersifat indah saja, maka segala objek atau hal yang tak indah menurut cita rasa tradisional otomatis tersingkirkan dari pendidikan estetik. Sebaliknya, jika estetik mengacu pada beragam bentuk perasaan yang dialami dalam kehidupan, maka segala jenis pendidikan pada dasarnya merupakan pendidikan estetik. Karena semua peserta didik mengalami perasaan tertentu dalam hubungannya dengan bidang ilmu yang dipelajari, maka sifat dan kualitas perasaannya tampaknya mempengaruhi kesenangannya terhadap subjek tersebut.

Meskipun demikian, kualifikasi perlu dibuat tentang hubungan antara pengalaman estetik dengan pengalaman merasakan. Jika semua pengalaman merasakan adalah pengalaman estetik, maka pengalaman estetik kehilangan sifatnya yang khas. Padahal, sesungguhnya pengalaman estetik merupakan suatu pengalaman yang khas dan unik yang ditandai dengan terpuaskannya “hasrat akan sesuatu yang harmoni dan lengkap.” Kepuasan ini lahir dari proses keterlibatan batin, baik dalam proses kreasi maupun dalam kegiatan persepsi.

Ada hal lain yang perlu mendapatkan perhatian dalam kita memahami istilah pendidikan estetik yakni perbedaan makna kata estetik (aesthetic) sebagai sesuatu yang berkaitan dengan perasaan dengan makna kata estetika (aesthetics) yang bermakna cabang filsafat yang membahas pemahaman tentang hakikat seni. Bila peserta didik diajarkan estetika, maka peserta didik digiring untuk mengeksplorasi beragam ide filosofis tentang seni. Tentu saja sebagai kegiatan eksploratif, ia dapat pula menawarkan pengalaman estetik.

Meskipun seni secara alamiah merangsang timbulnya pengalaman estetik, pengalaman estetik sebagaimana yang ditegaskan oleh John Dewey, dapat muncul dalam semua bidang yang digeluti manusia. Memecahkan persoalan matematika, berkebun, menemukan teori baru, atau melukis dapat menjadi sumber pengalaman estetik.Dengan perspektif yang luas tentang sumber pengalaman estetik ini, maka seyogyanya pemberian pengalaman estetik menjadi perhatian semua pihak yang terlibat dalam kegiatan pendidikan. Pandangan semacam ini menjadi dasar pijakan Herbert Read, seorang filosof Inggris, yang mengajukan tesis bahwa semestinya pendidikan bertujuan untuk mencetak seniman. Istilah “mencetak seniman” yang dikemukakan oleh Herbert Read tersebut bermakna proses pendidikan seyogyanya mengembangkan potensi peserta didik untuk menciptakan sesuatu yang indah dan memberi kepuasan. Sesuatu yang diciptakan itu dapat berwujud ide atau karya, dapat bersifat teoretis maupun praktis. Orang yang mampu menciptakan sesuatu yang indah dan memuaskan pastilah merupakan orang yang terampil, sensitif, dan penuh imajinasi. Karena itu ia layak disebut seniman.

Implikasi dari pandangan Herbert Read sangat mendasar. Bila diikuti dengan serius, maka pendidik akan menilai keberhasilan peserta didik pada keartistikan, daya imajinasi, dan koherensi karya yang diciptakannya. Lebih jauh, guru yang menganut pandangan Herbert Read akan mengembangkan kurikulum yang mendorong peserta didik untuk menjadi individu yang menghargai keorisinalan, tidak hanya dalam bidang seni, tetapi juga dalam matematika, sejarah, ilmu pengetahuan alam, atau olah raga. Pendidikan estetik berdasarkan pandangan Herbert Read mencakupi keseluruhan program sekolah.

John Dewey menganut pandangan tentang estetik yang tidak berada jauh dari pandangan Herbert Read. John Dewey tidak setuju adanya perbedaan antara seni dengan estetik meskipun ia mengakui bahwa istilah seni biasanya merujuk pada penciptaan karya, sedang estetik ditekankan pada aspek persepsi. Dewey meyakini bahwa persepsi yang orisinal pada dasarnya merupakan kegiatan kreasi. Atas dasar itulah, ia menolak perbedaan yang tegas antara estetik dengan artistik. Lebih jauh, pengalaman dalam bentuk seni menurut Dewey merupakan pengalaman yang paling menyenangkan secara intrinsik.

Dewey tidak membatasi seni pada bidang-bidang khusus seperti seni lukis, seni patung, seni grafis dan sebagainya meskipun dalam tulisannya ia meyakini bahwa seni memberi perhatian khusus pada pengalaman yang menyenangkan tersebut. Pengalaman yang menyenangkan dapat pula diperoleh melalui matematika atau ilmu pengetahuan alam. Kesenangan yang intrinsik yang dicapai melalui proses eksplorasi merupakan kebajikan pendidikan yang utama.

Konsepsi tentang apa yang penting dari sudut pendidikan ini tidak selaras dengan praktik pemberian rangsangan atau motivasi kepada peserta didik dengan iming-iming yang tak memiliki hubungan secara intrinsik dengan apa yang kepada peserta didik diminta untuk diperbuat.

Konsepsi tentang pengalaman estetik yang telah diuraikan di atas belum juga menjadi topik diskusi yang penting dalam bidang pengajaran, kurikulum, atau persekolahan. Pendidikan seni dan estetik merupakan istilah yang tak begitu populer di kalangan pendidik. Hanya segelintir pakar yang menjadikan pendidikan estetik atau filsafat seni sebagai pusat perhatian kajiannya.

Makna yang ketiga dari istilah estetik perlu pula mendapatkan perhatian. Makna ini berkaitan dengan bagaimana karya seni khususnya, dan hal yang dapat dicerap di alam ini pada umumnya, memengaruhi pikiran dan memperluas wawasan kita. Pada kesempatan ini saya akan memokuskan pembicaraan pada karya seni rupa.
Karya seni rupa, sebagaimana yang dikatakan oleh baik filosof maupun psikolog yang tertarik pada hal yang bersifat estetik, bukanlah sekadar objek atau peristiwa yang dimaksudkan untuk menyenangkan hati. Karya seni rupa merupakan simbol yang menghadirkan dunia di hadapan kita secara khas. Kursi, misalnya, sebagaimana dikatakan oleh Arnheim, bukan hanya merupakan objek tempat kita duduk, tetapi menyandang suatu makna. Kursi di ruang tunggu berbeda dengan kursi yang diperuntukkan khusus untuk Paus. Keduanya merupakan tempat duduk tetapi masing-masing menghadirkan makna kehidupan yang berbeda. Persepsi terhadap objek semacam itu, tidak hanya berkaitan dengan fungsi praktis tetapi juga nilai dan karakteristik budaya dari mana objek tersebut dibuat. Lebih jauh, perupa yang menciptakan bentuk yang dapat merangsang kesadaran kita akan berbagai aspek visual alam ini membantu kita untuk melihat sesuatu secara segar dan unik yang pada akhirnya akan memperkaya pengamatan kita. Dengan menghayati karya patung Rodin misalnya, kita akan menjadi semakin peka terhadap lekukan otot tubuh manusia.

Kesadaran terhadap lingkungan merupakan salah satu fungsi seni. Fungsi lainnya yang tak kalah pentingnya adalah kapasitas karya seni – novel, lukisan, bangunan, puisi, lakon, dan komposisi musik- untuk menimbulkan rasa empati kita terhadap kehidupan orang lain. Dengan membaca novel tentang Holocaust karya Elie Weisel (1969) kita dapat merasakan horror yang diderita oleh orang yang menjadi korban holocaust. Dengan membaca Grapes of Wrath karya Steinbeck, kita akan memiliki pemahaman yang mendalam akan makna kemiskinan. Pendeknya, seni dan media estetik memungkinkan kita untuk menghayati perasaan orang lain sehingga kita lebih memahami dunia secara lebih bermakna. Sebuah deskripsi statistik tentang penyalahgunaan narkoba di daerah miskin yang padat penduduk di kota besar dapat memberikan kita informasi statistik yang bermanfaat. Tetapi deskripsi semacam itu tidak mampu membangun pemahaman yang menggugah rasa empati kita terhadap kondisi kehidupan dan perjuangan untuk bertahan hidup dari para korban narkoba tersebut. Kita akan sulit memahami penyebab keadaan tersebut kecuali kita mampu menumbuhkan rasa empati kita secara mendalam.
Dengan pertimbangan tersebut, betapa besar potensi pendidikan estetik dalam bidang pengajaran ilmu sosial. Epstein, misalnya, menunjukkan bahwa perbudakan dapat dipahami secara lebih meluas dari pada apa yang dapat diberikan oleh buku teks jika peserta didik diberi peluang untuk menyimak musik para budak, mendengarkan ceritera dan mitosnya, mengecap makanannya, membaca novel pada periode tersebut atau menyaksikan video Roots. Tiap karya seni atau sistem simbol memberikan kepada peserta didik asses ke masa lalu yang tak mampu diberikan oleh buku teks pada umumnya (Makassar, 16 April 2006, Sofyan Salam).

[1] Pendidikan Estetik, disarikan secara bebas oleh Sofyan Salam dari: Elliot W. Eisner, “Aesthetic Education,” yang dimuat dalam Marvin C. alkin dkk (ed) 1992. Encyclopedia of Educational research. New York: Macmillan Library reference USA.

Tidak ada komentar: